Siiiiiggghhhh.
Kayaknya, bangsa ini demen banget menghukum ya.
Pelit reward, pelit memberi pujian, kumed memberi penghormatan , tapi cepat banget kalau urusan menghukum.
Kita, tanpa tahu riwayat apapun secara komplit, tanpa punya data akurat, data pasti yang bener, suka gampang menghukum.
Menghukum apa aja.
Anak sendiri dihukum, murid dihukum, tetangga dihukum, anak buah dihukum
Dan....menghukum orang lain yang nggak kita kenal persis.
Masih inget kan, rakyat suka menganiaya, melakukan kekerasan, memukul, meninju, menendang, bahkan membakar seseorang yang dicurigai maling.
Maling ayam sekalipun.
Nggak tau bener nggaknya dia maling, nggak tau motivasi apa dia maling ( mungkin anaknya kelaparan?), begitu denger teriakan maling dan telunjuk menuding kepada seseorang, maka rame rame bergerak, sambil teriak serang, serbu, hantam, binasakan, dll, dlsb
Penyesalan, kadang datang kemudian, tapi sudah terlambat, bukan ?
Jadi inget, suatu saat, di kompleks tetangga , dinihari buta ada yang dicurigai maling jemuran.
Untungnya, rakyatnya dewasa banget.
Ketika si maling ditanyain kenapa "mau' maling, jawabannya adalah karena 7 anaknya sudah seminggu nyaris nggak makan.
Maka berbondonglah penduduk kompleks tersebut "mengantar" maling pulang.
Benar, didalam rumah yang reyot nyaris rubuh, diatas bale bale, berjejer anak anaknya yang nyaris mati lemas.
Pendudukpun iba.
Maka sejak saat itu, keluarga " si maling " menjadi tanggungan penduduk kompelks, ya makannya, ya pakaiannya, ya sekolahnya.
Dan, si "maing" pun lumayan dapet kerjaan, tukang kebon.
Cerita lain, suatu ketika tahun delapan puluhan, ketika si mamah kudu menempuh route serpong-bogor naik bis saudaranta atau mahesa jaya, ditikungan parung ( dari arah ciputat, setelah pasar parung ada tikungan yang membelok melengkung tajam) bis yang si mamah naiki bertabrakan dengan bis lain yang ngebut dari arah berlawanan.
Penumpang banyak yang terluka, termasuk jidat si mamah kena pecahan kaca.
Penduduk setempat, lari berhamburan bukannya menolong, malah gebukin sopir bis yang si mmah naikin.
Itu sopir ampun ampunan, lari berlindung ke pepohonan, dikejar kayak tikus, astaghfirullahaladziim.
Entah kekuatan atau bisikan apa yang mendorong si mamah ketika itu.
Dengan teriakan nyaring " jangan dipukuliiiiin !", si mamah menerobos kerumunan orang, mendekap pak sopir yang ketakutan.
Darah bercucuran dari jidat si mamah sementara kedua lengan erat memeluk si sopir yang wanginya harum semerbak, hehehehe.
Penduduk berhenti memukul dan tetap berteriak teriak " ibu minggir, ibu minggir, nanti kena pukul...itu darah dari kepala bercucuran bu.... dll, dlsb"
Si mamah nggak menggubris, tetap teriak teriak dan erat memeluk pak sopir ( pak sopir ini, apalagi si mamah tahu, nyetirnya perlahan dan apik koq , kan si mamah penumpangna ).
Teriakan jangan pukul...panggil polisi...terus terusan si mamah teriakan dengan sekuat tenaga.
Akhirnya, polisi datang, pak sopir diaamankan, dan si mamah bisa melanjutkan perjalanan kekantor naik angkot dengan darah masih bercucuran.
Penduduk? mana ada yang nolong ngasih betadine keq, verband keq.
Akhir akhir ini, mayoritas kita juga lagi euphoria menjudge seseorang atau institusi.
Bersalahlah, hukumlah, penjarakanlah, bubarkanlah, cabut ijinnya lah, dll, dlsb.
Apakah kita tahu persis apa yang terjadi?
Apa kita punya data akurat sehingga berani beraninya berpihak?
Apakah kita hakim yang sudah punya data komplit?
Jadi?
Biarkan saja pengadilan atau juru damai berjalan sesuai tugasnya.
Mereka kan yang berseteru tahu persis apa yang terjadi, bukan kita.
Dan juru damaipun akan menghimpun, mendengarkan, mempelajari, menganalisa semua data yang perlu untuk memutuskan, bukan kita
Kita, penonton, koq suka lebih kejaam memberi komentar atau mengusulkan keputusan ya.
Kita, kayak nonton bola aja, suka menggoblog goblog pemain yang nggak menggetarkan gawang lawan, iya kan ?
Coba kita main bola, baru lima menit aja udah sesak nafas....hehehehe.
Empati, simpati, amat sangat perlu.
Tapi berpihak menghukum seseorang atau pihak tertentu, ntar dulu ah.
Semoga kita bisa lebih murah hati memberikan pujian, dan kita bisa hati hati memberikan hukuman kepada siapapun dan kepada apapun..
Salam
5 comments:
Bingung ya. Ada orang ujug-ujug jadi hakim. Seperti pengalaman Mamah Ani...Supir digebukin rame-rame dihakimi orang banyak...di jalanan.
Tapi ada lagi yang aneh, pengacara buka sidang pengadilan di media elektronik?!
Lieueueurr..
bener kan mah : jarum disebrang lautan tampak, gajah dipelupuk mata tak terlihat.....gitulah manusia...semoga kita dijauhkan dari semua itu
He he he....
Ngartos, ngartos...
Tapi kayaknya postingnya seharusnya bukan di sini, deh!
Kayaknya....
Cag, ah!
Salam,
Iwan
Setuju banget. Kadang kebanyakan dari kita lebih prefer ngehukum daripada ngereward. Kalo ada yang berprestasi, gak sedikit yang iri. Kalo salah dikit gak banyak yang ngasih pengertian.
Duh Gusti nu Agung, semoga bisa belajar menghargai orang lain. Amin..
ouw.. I see.. itu namanya tikngan lebak wangi.. persis did epan diskotik flamboyan..emang tikungan itu lumayan serem banget, tiap tahun minta tumbal katanya.. entah yg mamah mu accident atau bukan, sekitar tahun 80an juga bus adu kambing dengan bus di tikungan itu kurang lebih dari 10 org tewas..
Post a Comment