Mahar?
Iya mahar, bukan nama orang, tapi lebih populer dikenal sebagai Mas Kawin kali ya.
Kan setiap ijab kabul kita selalu mendengar....."Saya nikahkan putri saya bernama X kepada ananda Y dengan mas kawin berupa Z sejumlah sekian, tunai"...
Postingan ini terinspirasi oleh kisah pembantuku, sebut saja namanya Ina.
Konon, ketika dia berusia 17 tahun, dengan memalsukan usia, dia bisa jadi TKW di Malaysia selama hampir 3 tahun.
Kontrak pertama selama 2 tahun dengan catatan nggak boleh kontak dengan siapapun, juga nggak boleh ada hubungan dalam bentuk apapun dengan keluarga.
Setelah nyaris 3 tahun, dia mudik dan seluruh duitnya diserahkan kepada ibunya.
Alhamdulillah bisa beli beberapa ekor sapi untuk diternak.
Nggak berapa lama, ibunya menjual 1 sapi untuk biaya pernikahan Ina dengan lelaki pilihan ibunya yang bekerja sebagai petani di kampungnya.
Pernikahan yang cuma bertahan 3 hari, terputus karena Ina kabur, menjadi pembantu rumah tangga kesana sini sampai akhirnya terdampar dirumahku.
Konon, agar suaminya mau menceraikannya, si ibu di kampung kudu membayar beberapa juta, supaya keluar kata lisan "menceraikan."
Tanpa surat surat?
Kayaknya gitu deh, mau menikah, mau bercerai, nggak ada ceritanya surat dari KUA setempat.
2 minggu lalu, Ina mudik kekampungnya di Sukabumi.
Apa yang terjadi ?
Suatu ketika, bapaknya berkata : " Itu si Ujang , suami kamu sekarang. Kemarin bapak dan si Ujang sudah ijab kabul di pak lebe ( amil atau penghulu ? )"
Astaghfirullahaladziim.
Jaman apa ini?
Segampang itukah proses menikah?
Apa mahar dari suami pertama dulu?
Apa mahar dari si Ujang ?
Kerja apa si Ujang?
Tadi pagi, si Ujang ngotot mau membawa Ina pulang kampung.
Entah mau kerja apa disana, si Ujang kan di kampung saat ini mencari rumput buat ternak.
Mau dinafkahin apa istrinya?
Sementara si Ina masih betah untuk bekerja, menghidupi dirinya sendiri dan uang hasil kerja kerasnya dia kirim utuh ke kampung.
Jadi inget relasi si mamah yang baru kenal ketika harus mengantar pasien ke RS di Arab Saaudi.
Misbach namanya.
Dari Misbach, si mamah tahu, di Arab sana, raja menentukan nilai mahar minimal.
Tadinya 100 ribu reyal adalah syarat minimal bagi seorang lelaki yang mau menikahi perempuan pilihannya.
Berapa rupiah tuh...260 juta kali ya.
Tetapi berhubung jadi banyak perawan tua, dan lelaki menjomblo karena nggak punya duit buat mahar, maka beberapa tahun ini diturunkan nilai mahar terendah, ialah 50 ribu reyal.
Pantesan, beberapa roomboy di Hotel baik di Madinah ataupun Makkah, selalu berkata kepada si akang : " Kamu lelaki yang beruntung, bisa menikahi perempuan yang kamu cintai"....
Halah........Lha iyalah alhamdulillah bisa menikahi perempuan yang dicintai, bukan begitu?
Taunya, pendapat mereka begitu tuh dikaitkan dengan uang mahar rupanya ya.
Kata Misbach, seorang bapak yang mengerti dan sayang anaknya, akan minta mahar yang tinggi buat anaknya.
Kenapa?
Lha...kalau dalam pernikahan terjadi kekerasan atau perempuan tak terjamin dan tak bahagia, kan perlu biaya untuk mengurus gugatan.
Darimana uangnya kalau perempuan nggak dibayar dengan mahar yang mahal tinggi tinggi?
Mahal lho bu biaya untuk menggugat itu, demikian kata Misbach.
Dengan mahar atau mas kawin yang tinggi, perempuan menjadi punya "amunisi", bisa tegar, besar hati dan gagah mandiri seandainya terjadi hal hal penganiayaan atau pendzaliman dalam keluarganya.
Iya, bener juga ya.....
Coba , bandingkan dengan umumnya di Indonesia.
"Saya nikahkan putri saya X dengan ananda Y dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai..."
Halah.....
Kalau suami menganiaya, melakukan kekerasan, menyengsarakan, mendzalimi, darimana punya biaya menggugat ?
Makanya banyak perempuan tertekan, stress, depressi dll, dlsb, dan mengakibatkan pengasuhan anak anak menjadi nggak optimal.
Bukan hanya karena perempuan malu untuk menggugat cerai karena menjadi aib , takut karena ditakut takuti adzab kalau menggugat cerai, tapi juga karena alasan ekonomi.
Dipikir pikir, raja Arab itu melindungi kaum perempuan ya dengan SK nya....
No comments:
Post a Comment