Thursday, May 07, 2009

BENIH KEJUJURAN

Ada yang pernah denger kisah tentang benih kejujuran nggak ya ?
Ini pas banget dengan berita gonjang ganjing siapa masuk tahanan, siapa belum ditangkap, dan siapa tidak tertangkap, atau siapa salah tangkap dan salah duga.

Si mamah terakhir kali baca kisah benih kejujuran tersebut ada terpampang di media kawasan serpong.

Alkisah, ada seorang yang bener bener tukang tipu, tukang palak, nggak jujur dan seribu satu sifat jelek lainnya, jatuh cinta kepada si gadis lugu nan jujur.

Si gadis mengajukan syarat , adanya perubahan sifat dari negatif ke positif, baru dia mau dipersunting.

Si bengal, berniat dan bertekad memenuhi keinginan tambatan hatinya.
Tapi sayangnya, dia melakukan kejahatan terakhir kalinya hanya untuk mendapatkan sebentuk cincin buat gadis lugu jujur nan menawan hati.
Dan, dia tertangkap tangan mencuri sebentuk cincin, sehingga dia masuk bui.

Si bengal, berpikir keras, bagaimana caranya ia keluar penjara, dan mempersunting si gadis impiannya.
Maka muncullah sebuah ide brilian ketika ia memakan sebuah apel.

Lantas, ia menyimpan biji apel tersebut, dan berkata kepada sipir penjara agar ia diperkenankan bertemu dengan sang raja, untuk menyampaikan hadiah istimewa.

Keinginannya tidak digubris, sehingga si bengal mencari akal dengan senantiasa berteriak teriak meminta dipertemukan dengan sang baginda raja.

Akhirnya, sipir penjara, tak tahan dengan lengkingan suaranya sepanjang waktu, mengabulkan keinginannya untuk bertemu sang raja.

Maka menghadap sang raja lah si bengal dan dengan penuh kesantunan menyerahkan sebuah biji apel, yang ia katakan akan berbuah emas yang tak putus oleh waktu, akan berbuah lebat sepanjang musim dan sepanjang jaman.

Baginda raja murka, karena menganggap si bengal adalah penipu ulung, yang melecehkan sang raja.
Menurut Baginda Raja, kalaupun biji apel itu akan tumbuh menjadi pohon emas, niscaya si bengal sendiri yang akan menanamnya.

Si bengal berbisik dengan penuh rasa hormat : " Maaf tuanku raja, saya tak mungkin menanamnya, karena syarat agar biji ini tumbuh menjadi pohon emas adalah bila ditanam oleh seseorang yang jujur, dan saya kan bukan orang yang jujur.
Baginda lah menurut saya yang paling jujur"

Baginda raja tertegun, terhenyak, teringat akan track recordnya yang membunuh raja sebelumnya hanya demi tahta singgasana yang kemudian didudukinya. " O, tidak. Lebih baik perdana mentri saja yang menanamnya "

Sang Perdana Mentripun terkesima, teringat kasak kusuknya kepada Baginda agar ia diangkat menjadi Perdana Mentri,walaupun ia tahu ada yang lebih tepat menduduki posisi itu.
Dia menolak menanam biji apel tersebut dan meminta salah seorang Mentri untuk menanamnya.

Demikianlah biji tersebut senantiasa berpindah tangan, dari Mentri yang merasa memperoleh kedudukannya dengan menjilat Perdana Mentri,ke Panglima Perang, yang merasa pernah melakukan kesalahan karena salah menghukum orang.

Biji apel, yang dikenal dengan benih kejujuran tersebut terus menerus berpindah tangan, dari penuntut hukum yang merasa pernah salah menuntut orang, kepada hakim yang juga merasa pernah salah menghukum seseorang.
Bahkan para tetua adat dan pemuka agamapun nggak ada yang berani menanamnya dengan alasan merasa track recordnya nggak bersih bersih amat.

Kan kalau pernah nggak jujur, maka biji apel akan berbuah apel, nggak berbuah emas, sehingga akan ketahuanlah ketidak jujuran yang menanam.
oo....kamu ketahuan.........
Begitulah yang dipercayai orang perorang.

Akhirnya, Baginda Raja berujar," Anak muda, kamu terbebas dari hukuman, karena bagaimanapun, kamu sudah dengan sangat terbuka diketahui kesalahannya dan sudah mendapat hukuman. Sedangkan kami, kita, yang lainnya, ternyata adalah pelaku ketidakjujuran, pelaku ketidak benaran yang berpura pura dan tertutup topeng kepalsuan. Terbukti, tidak ada satupun yang berani menanam biji benih kejujuran tersebut, yang artinya semuanya meragukan kejujuran dan kebenaran dirinya, mengetahui bahwa jejak rekamnya tidak begitu mulus, tidak begitu baik, sehingga nggak punya keberanian untuk menanam benih kejujuran tersebut ".

Apa moral cerita tersebut?

Kita sering mencibir orang yang sedang mengalami masalah, mengalami penderitaan, mendapat hukuman dan cercaan, tertangkap, tertuduh, tersangka, terdakwa dlsb.

Apakah kita lebih jujur dari mereka semua?
Apakah jejak rekam kita jauh lebih bersih dari mereka semua?
Apakah nawaitu dan motivasi kita jauh lebih jujur dari mereka?
Apakah yang menangkap jauh lebih "bersih" dari yang ditangkap?
Apakah yang menyidik lebih jujur daripada yang disidik?
Apakah yang "menonton" jauh lebih bersih dari yang ditonton?

Wallahu alam.

3 comments:

Tamrin said...

WAduh keren bangetss,,,, Coba deh di Indonesia ada yang seperti itu. PAsti asik dan damai selalu....

amethys said...

wuihhhh mah...critanya bener2 menarik...membuat orang bertanya pada dirinya sendiri, "jujurkah saya?"
aseek banget

Ahyani Raksanagara said...

se tuju...
pokonya selalu luruskan niat.....
ikhtiar saja optimal, manfaatkan waktu
soal jujur hanya kita sendiri
yang tahuuuuu kan???